Beranda | Artikel
Kaidah Ke. 11 : Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Tetap Dalam Keadaannya Semula
Minggu, 6 September 2009

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesebelas :

اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ, وَالْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Tetap Dalam Keadaannya Semula, Dan Keyakinan Tidak Bisa Hilang Karena Keraguan

Kaidah yang agung ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu hadits shahîh. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan keadaan yang dirasakannya sewaktu shalat. Laki-laki itu merasakan sesuatu di perutnya seolah-olah telah berhadats, sehingga ia ragu-ragu apakah telah berhadats ataukah belum. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا , أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

Janganlah keluar dari shalat sehingga engkau mendengar suara atau mendapatkan baunya.[1]

Yaitu, janganlah ia keluar (berhenti-red) dari shalatnya disebabkan apa yang ia rasakan di perutnya tersebut ; sampai benar-benar ia yakin telah berhadats.

Oleh karena itu, seseorang yang yakin terhadap suatu perkara tertentu, maka asalnya perkara yang diyakini tersebut tetap dalam keadaannya semula. Dan perkara yang diyakini tersebut tidaklah bisa dihilangkan hanya sekedar karena keragu-raguan.

Adapun penerapan kaidah yang mulia ini dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :

1. Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats.

2. Seseorang yang ragu-ragu terhadap air yang ada dalam suatu wadah, apakah air tersebut masih suci ataukah tidak, maka ia mengembalikan pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air adalah suci (tidak najis), sampai muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah menjadi tidak suci lagi karena terkena najis. Demikian pula, hukum asal segala sesuatu adalah suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu tentang kesucian air, baju, tempat, bejana, atau selainya maka ia menghukuminya dengan hukum asal tersebut, yaitu asalnya suci. Oleh karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran air, atau menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah suci (tidak najis).

3. Apabila seseorang ragu-ragu tentang jumlah rekaat dalam shalatnya, apakah sudah dua raka’at ataukah tiga raka’at, maka ia berpedoman pada keyakinannya, yaitu ia mengembalikan kepada jumlah raka’at yang lebih sedikit, kemudian ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.

4. Seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di Baitullâh, jika ia menemui keraguan tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan, maka ia menentukan sesuai yang ia yakini, yaitu ia kembali pada jumlah yang paling sedikit. Demikian pula seseorang yang ragu-ragu ketika melaksanakan sa’i.

5. Seseorang yang ragu-ragu tentang jumlah basuhan ketika berwudhu, mandi wajib atau selainnya, maka ia berpedoman kepada keyakinan sebelumnya, yaitu kembali pada jumlah basuhan yang terkecil.

6. Seorang suami yang ragu-ragu, apakah telah mentalaq isterinya ataukah belum, maka asalnya ia belum mentalaq isterinya. Dikarenakan hubungan suami isteri sejak semula telah terjalin dengan keyakinan, maka hubungan tersebut tidaklah terputus hanya sekedar karena keraguan.

7. Seorang suami yang ragu-ragu tentang jumlah talaq yang telah ia ucapkan kepada isterinya, maka ia mengambil jumlah yang paling sedikit.

8. Apabila seseorang mempunyai tanggungan untuk mengqadhâ’ shalat yang ditinggalkannya karena udzur, kemudian ia ragu-ragu tentang berapa jumlah shalat yang ditinggalkannya, maka ia melaksanakan shalat sehingga muncul keyakinan bahwa tanggungannya telah ditunaikan. Hal ini karena kewajiban mengqadhâ’ shalat telah tetap atasnya, sehingga kewajiban itu tidaklah lepas dari tanggungannya kecuali dengan keyakinan. Demikian pula jika ia mempunyai kewajiban untuk mengqadhâ’ puasa..

9. Apabila seorang wanita ragu-ragu apakah ia telah keluar dari masa iddahnya ataukah belum, maka asalnya ia masih tetap dalam masa iddah.

10. Jika timbul keraguan tentang jumlah susuan yang mengkonsekuensikan hubungan mahram antara anak susuan dengan ibu susuannya, apakah sudah lima kali susuan ataukah belum, maka yang dijadikan patokan adalah jumlah yang terkecil, sampai muncul keyakinan bahwa jumlah susuan sudah mencapai lima kali.

11. Jika seseorang melempar binatang buruan (dengan tombak, panah atau senjata lainnya) dengan menyebut nama Allah k terlebih dahulu, kemudian setelah beberapa waktu ia menemukan binatang itu mati terkena senjatanya, namun ia lalu ragu-ragu apakah binatang itu mati karena lemparan senjatanya ataukah karena sebab yang lain, maka asalnya binatang tersebut halal untuk dikonsumsi (bukan bangkai). Karena pada asalnya tidak ada sebab lain yang mengakibatkan kematian binatang tersebut, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang shahîh.[2]

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, maka hal tersebut asalnya tidak ada. Dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya maka asalnya kita kembalikan pada bilangan yang terkecil.

Banyak sekali contoh permasalahan yang masuk dalam kaidah ini. Jika kita mau mencermati dan meneliti pembahasan dalam kitab-kitab fiqih, maka kita akan mengetahui betapa besar manfaat kaidah ini. Sebagaimana kita juga akan mengetahui manfaat yang besar dari kaidah-kaidah fiqih lainnya yang mengumpulkan berbagai permasalahan yang serupa dan menghukuminya dengan hukum yang sama.

Apabila seseorang menguasai kaidah-kaidah fiqih tersebut, maka ia akan memiliki kemampuan untuk mengembalikan permasalahan-permasalahan kepada pokoknya dan menggabungkan perkara-perkara ke dalam kaidah yang sesuai. Wallâhu al Muwaffiq.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Bukhâri dalam Kitab Al-Wudhû’ Bab Lâ yatawaddha’ min as-syak, No. 137. Muslim dalam Kitab al-Haidh, Bab Al-wudhû’ min luhûmi al-ibil, No. 361 dari Abdullâh bin Zaid-radhiyallâhu ‘anhu
[2]. HR. Bukhâri dalam Kitab adz-Dzabâ-ih, Bab as-Shaidu idzâ ghâba ‘anhu yaumaini…., No. 5484. Muslim dalam Kitab as-Shaid, Bab As-Shaid fî al-kilâbi al-mu’allamah, No. 1929 dari Adi bin Hâtim.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2510-kaidah-ke-11-hukum-asal-segala-sesuatu-adalah-tetap-dalam-keadaannya-semula.html